Pelacur Sarkem dan Nama Tuhan
“Aku mau bikin
penelitian,” kata Said, “tentang hubungan antara perilaku pacaran dengan
relijiusitas seseorang. Dari yang pacaran minimalis; cuma SMS dan telepon, sampai
yang kurang ajar nyewa kamar. Hahaha..”
Entah serius atau
memang sedang gendeng, idenya ini menjadi semacam pengantar agenda malam itu.
Kamis malam Jum’at. Mengunjungi salah satu komplek lokalisasi terbesar di
negara ini di samping tiga lokasi lainnya. Sarkem, akronim dari Pasar Kembang,
nama tempat itu. Lokalisasi ini jauh lebih tua dibanding usia kami. Ia ada
sejak zaman kolonial Belanda, 1818.
Karena sudah
cukup malam, dua gadis baik hati pamitan pulang kepada sembilan pemuda gila di
muka gerbang Vrederburgh. Pukul sepuluh tiga puluh kami mulai melangkah
menyusur emper Malioboro. Mulai dari Nol Kilometer, Margo Mulyo, Malioboro,
Margo Utomo, hingga rel tugu. Para pedagang nampak sibuk mengemas komoditi
pencaharian mereka.
“Berjalan
sepanjang Malioboro ini ibarat melewati kehidupan dunia,” bisik Talkhis agak
filosofis, entah karena sedang ‘in’ atau memang kelaparan, “Berbagai jenis
manusia dengan beragam kepentingannya ada. Kanan kiri kita lihat beraneka rupa
barang-barang yang menarik. Tapi hakekatnya kita sekedar lewat saja,” ujarnya
sambil lirak-lirik pecel bawal di emperan yang tak kuasa ia beli.
Seratus meter
sebelum sampai di gang masuk lokalisasi, hujan mengguyur deras. Barang sejam lebih
kami berteduh di halaman losmen berkelas. Tepat tengah malam, hujan mereda.
Kami lanjutkan penyusuran.
“Wah, rombongan
Mas? Berapa orang ini?” tanya seorang pria penjaga kotak retribusi di sudut
gang.
“Sembilan, Om!”
sahut Irfan sebagai tour-guide saat itu. Kalau kau butuh pemandu wisata ke
Sarkem, hubungi saja dia.
“Jadinya delapan
belas ribu,” kata pria itu sambil meneliti wajah-wajah kami.
Begitulah, selain
penduduk setempat, ada retribusi setiap kali kau masuk kawasan ini. Apapun
keperluanmu, dua ribu rupiah per kepala. Begitu masuk, kau akan melihat deretan
pintu-pintu kamar di sepanjang gang, warung-warung penjual jamu kuat, serta
rentetan stiker himbauan; ‘Kawasan
Wajib Kondom’.
Semerbak parfum
menusuk hidung. Cahaya light-box berpijaran dari ujung ke ujung, memamerkan
nama-nama toko, karaoke dan kamar pergumulan. Orang-orang yang tak jelas
tujuannya berlalu lalang kesana kemari. Wanita-wanita dengan busana minim
menjajakan diri di pintu-pintu ‘surga dunia’. Di antara kami ada yang langsung merinding,
gemetaran. Ada pula yang justru antusias menyapu pemandangan dengan bola
matanya.
"Mas yang gendut itu pernah kesini kan ya?" sapa
sesosok penjaja seks dengan genitnya, merayu-rayu salah satu kawan kami yang
memang berbadan tambun.
Fatah, orang yang dimaksud, hanya bisa geleng-geleng kepala
sambil gemeridik, "Nggak, nggak," sergahnya.
"Hihihi, bohong dosa lho Mas, Yaa Allaah.."
sahut si penggoda sambil ketawa geli.
Bohong dosa. Ya Allah. Kata-kata itu cukup
mencengangkan benak kami. Seakan ada orang memperingatkan tentang panasnya percik
api sedangkan ia sedang terbakar di
dalam api unggun. Setidaknya kami
bisa memahami kesepadanan; orang yang menghimbau tentang kesucian sedangkan ia
asyik berkubang lumpur tak lebih dari ujaran seorang pelacur. Entah ia
negarawan atau bahkan agamawan sekalipun. Setara.
Ungkapan bermuatan nama Tuhan yang terlontar secara reflek
dari lisan penjaja seks komersial itu mengajari kami makna mendalam. Bahwa Dia
Yang Mahatinggi bukan hanya Tuhan bagi kaum ‘suci’. Dia juga tumpuan harapan
bagi orang-orang ‘kelam’ dan patah hati.
Tapi apakah yang
mereka lakukan itu benar? Atau salah? Tidak. Kami tidak sedang membicarakan
benar dan salah di sini. Haram tentulah haram, dosa tak perlu lagi
dipertanyakan. Apa yang kami upayakan hanyalah menyecap madu-madu kebijaksanaan.
Biarpun hanya sepercik.
“Sebenarnya kita
ini mau ngapain kesini, Kang?” bisik Sulaiman.
“Kuliah Wisdom!”
sambarku singkat.
~
Lorong demi
lorong kami susuri. Degup jantung kawasan ini senada dengan sorak sorai dari
bilik-bilik karaoke. Nampak pasangan-pasangan liar menari-nari di bawah kerlip
lampu disko. Bibir-bibir sayu merayu-rayu.
“Mas.. kesini
Mas..”
“Seribu tiga,
Mas.. Ayo sini..”
Mukid tak
berkedip. Said terlihat begitu bersemangat. Mengusir grogi, kuhisap sebatang rokok.
“Fan, mana
koreknya?” pintaku.
“Gak punya. Tuh
dibawa Said kayaknya,” timpal Irfan si pemandu wisata. Tolah toleh
kucari kemana Said menghilang.
“Itu lho Mas
koreknya!” seloroh seorang wanita paruh baya dengan dandanan menor begitu rupa.
“Mana? Mana?”
tanggapku, kaget.
“Itu lhooooo!”
ucapnya sambil menelunjukkan jari tangan tepat lurus di antara selangkanganku.
“Hahaha, itu
korek tanpa gesekan. Gak bakal nyala,” sahut wanita lain di seberang lorong,
dengan dandanan tak jauh beda, “Sini digesek biar nyala! Hahaha!” Sial. Kena
juga aku.
“Semua senyum itu
palsu,” ucap Pramono, sambil
berteduh di beranda rumah warga dari guyuran hujan yang kembali menderas. Ya, kawasan lokalisasi ini pada mulanya
memang pemukiman warga. Dan di pintu rumah-rumah yang tak menjalankan bisnis
prostitusi tertempel stiker ‘Rumah Tangga’. Jadi, kalau
suatu saat kau mampir, jangan salah
duga.
Kehidupan
masyarakat yang termasuk dalam wilayah Sosrowijayan ini berlangsung sebagaimana
kampung-kampung lain. Di himpitan ruang-ruang mesum itu ada balai Taman
Kanak-kanak. Tempat bermain dan belajar bagi malaikat-malaikat kecil warga
sekitar. Ada pula mushalla sederhana, sebagai tempat sembahyang para hamba.
“Apa maksudmu
dengan palsu, Pram?” tanyaku heran.
“Ya hanya
topeng,” sahut Pramono, “Mereka terlihat tertawa-tawa di bibir. Merayu genit
dengan polah tubuh yang menggoda. Padahal mungkin hatinya menjerit pilu.”
Ada benarnya kalimat Pramono, selaras dengan sepotong kisah.
Sebut saja namanya Mentari. Salah
seorang wanita yang terjebak di lorong ini. Di kampungnya, ia anak pegawai negeri berada. Beberapa tahun
lalu ia berangkat ke Jakarta untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi di
sana. Entah bagaimana mulanya, sang pujaan hati begitu saja pergi. Ia ditinggalkan dalam keadaan bunting.
Menggugurkan
kandungan terlalu kejam baginya. Ia rawat janin itu hingga terlahir ke alam
dunia, meski tanpa gendongan hangat seorang bapak. Dengan segenap keberanian, Mentari pulang
kampung. Alangkah kaget ibu bapak melihat anak gadisnya pulang menggendong
jabang bayi. Tanpa suami pula. Ia tak lagi dianggap di tengah keluarga. Harga
dirinya hancur dalam pandangan kerabat dan tetangga. Aduhai malang nian
ia.
Merasa kasihan,
seorang saudara dekat menawarkan diri untuk mengasuh bayi mungil tanpa dosa
itu. Sedangkan Mentari sendiri merantau ke Yogyakarta, tanpa ada keinginan
untuk kembali. Karena tak lagi mendapat kiriman dari rumah, ia bekerja
serabutan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan lagi-lagi, entah bagaimana
bermula, seorang kawan menyeretnya ke pusaran prostitusi. Ya, di Sarkem ini.
Sudah terlanjur
kotor, sekalian saja, katanya.
Sebab pengkhianatan lelaki pujaan, penolakan keluarga, dan cemooh manusia, ia kategorikan
dirinya sebagai manusia hina.
Ia mengais nafkah dengan menjual diri. Dan di sini ia temukan ‘keluarga’
barunya.
~
“Sama sekali gak
bikin nafsu. Malah ngeri,” celoteh Fatah sambil kraus-kraus mengunyah kacang
bungkus. Jam satu dini hari, kami beristirahat di angkringan seberang PKU
Muhammadiyah Kauman.
“Halah, itu kan
karena kamu impoten!” seloroh Rijal, pemuda tambun level dua setelah Fatah.
“Atau mungkin karena memang kamu belum terbiasa saja,” katanya sambil terus
memangsa dua belas tusuk sate. Mengalahkan rekor enam tusuk sate pencapaian
Pramono.
“Yaah, kalau aku malah risih di sana,” sambung Mukid dengan gayanya yang innocent,
tak berdosa. “Aku risih karena nggak bawa duit. Padahal kalau mau main ‘kan setidaknya bawa lima puluh ya, hehe..”
Memang, kau bisa
melampiaskan nafsu di tempat itu dengan kisaran tarif antara lima puluh sampai
seratus lima puluh ribu untuk satu orang. Harga yang terjangkau bagi pelanggan.
Mulai dari tukang becak, mahasiswa,
pegawai negeri, hingga dosen. Namun dari kunjungan singkat kami, tergambar jelas siapa pelaku dan
penikmat bisnis ini.
Mereka adalah
orang-orang frustasi. Mana ada wanita yang
mau mengorbankan kehormatannya di atas ranjang dengan pria tak dikenal. Selain
mereka yang terasing oleh saudara-saudaranya. Tertindas oleh himpitan tanggung
jawab penyambung napas. Mana ada orang yang bersuka ria dan menikmati
jasa hibur di tempat semacam itu
jika bukan karena muak dengan
kesehariannya. Bising dengan ceracau kehidupannya.
Dan juga orang-orang gila. Mana ada anak-anak muda yang mau
berlarian di tengah malam, menembus hujan, kelaparan, kedinginan, terdampar di
labirin gang lokalisasi, dan tak punya tujuan untuk menikmati cumbu pelukan.
Selain pemuda-pemua goblok dan agak gila.
“Mereka tak akan
berhenti di lorong itu, kuharap,” lanjut Talkhis, lagi-lagi agak filosofis,
kali ini dalam keadaan kenyang. “Aku mungkin tak lebih mulia dari mereka. Harus
terus berjalan melalui lorong gelap ini. Hingga pada akhirnya nanti berujung
khusnul khotimah bersama mereka-mereka itu,” katanya. Wah, lumayan juga gembel
satu ini.
Lokalisasi
pelacuran adalah permasalahan kemanusiaan multikompleks. Meskipun begitu, tak
ada masalah tanpa solusi. Suatu masalah tanpa solusi berarti ia bukan masalah
sama sekali. Dan solusi untuk prostitusi tak bisa diincar dari satu atau dua sudut
pandang saja. Kau tak akan bisa merumuskan penyelesaian hanya dari sudut
pandang agama atau hukum perundang-undangan. Kau butuh lebih dari kepekaan
sosial dan empati kemanusiaan.
Apa yang mereka lakoni memiliki latar belakang. Dengan latar
belakang itu, mungkin kita yang terlanjur sering merasa suci ini bisa
terjerumus dalam kubangan yang sama. Kami mencoba memahami itu, bukan untuk
memaklumi atau meridhai. Bukan pula untuk membagi-bagi kategori manusia: si ini
bejat si itu mulia. Apalagi mengentaskan, terlalu berat untuk kelas teri macam
kami.
Empat belas abad yang lalu, Rasulullah, manusia suci
pengabar kegembiraan dan penyampai peringatan pernah berujar;
“Ada seseorang di antara kalian yang
mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga
kecuali sehasta saja. Kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah, lalu ia
melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada di antara kalian yang
mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan
neraka kecuali sehasta saja. Kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah, lalu
ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.”
Bagaimanapun kacau dan kotornya kita hari
ini, semoga tidak berputus asa dan tidak pula membuat orang lain patah hati
terhadap kasih sayang Ilahi. Menemui ujung hidup keduniawian kelak dalam
indahnya pungkasan usia. Khusnul Khotimah.
~
Selingkar [o] Sarkem 19 Desember 2013
No comments: