TOPO KENCOT :: Sekilas Pengantar Menyambut Ramadhan
Sebaiknya Anda tidak usah langsung percaya dengan
segala informasi tentang faidah puasa dan lapar yang akan kita bicarakan di
bawah ini.
Satu hal yang sangat erat kaitannya dengan Puasa,
bahkan tak terpisahkan, yaitu Rasa Lapar alias Luwe atau Kencot.
Dalam kepercayaan agama apapun, puasa yang identik
dengan kencot ini dijadikan sebagai suatu metode rialat atau exercise atau tapa
dalam rangka melatih raga demi kesempurnaan jiwa agar semakin sensitif terhadap
Kehendak Sang Mahakuasa.
Konon, suku Pheonix (Finiqi) di Mesir berpuasa
dalam rangka memuja dewa mereka, Isis, selama beberapa hari, lalu memungkasi
tapa mereka itu dengan perayaan persembahan kurban. Orang Yunani kuno melakukan
puasa selama sepuluh hari dalam rangka menajamkan mata batin agar dapat
memahami hakikat ketuhanan, sedangkan kaum wanitanya berpuasa sehari penuh lalu
merayakan pemujaan Aluzis.
Begitu pula orang Romawi kuno, sejak tahun 193 SM
setiap lima tahun sekali mereka melaksanakan puasa selama satu tahun penuh
sebagai penghormatan terhadap dewa Siris. Agama dan kepercayaan manapun,
terutama yang terdahulu, menjadikan puasa sebagai suatu metode pendekatan diri
kepada Tuhan selama beberapa masa lalu ditutup dengan hari raya.
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqoroh 183)
Bahkan, konon, ritual tua berupa puasa ini sudah
dicontohkan oleh abul basyar, Nabi Adam as. semenjak di surga, yakni
dengan menahan diri dari memakan Khuldi, meskipun kemudian gagal terlepas dari
apapun sebabnya.
Di sisi lain, Rasulullah Muhammad saw. agaknya
telah mewanti-wanti umatnya untuk benar-benar memaknai rasa lapar ketika
berpuasa, agar tidak terjerumus ke dalam tipe pelaku puasa yang beliau
sampaikan;
“Betapa banyak orang yang
berpuasa tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar dan haus. Betapa banyak
orang yang bangun (Shalat) malam tidak mendapatkan apa-apa selain begadang.” (HR. Al-Bayhaqi)
Kesia-siaan rasa lapar dan kantuk tersebut bisa
disebabkan adanya perilaku negatif dari orang yang berpuasa atau shalat,
sehingga me-nol-kan kembali kegiatan positif yang sudah dilakukannya. Puasa
tapi malah mengumbar syahwat, shalat tapi ngrasani orang, dan semisalnya.
Nah, alangkah sayang bila rasa lapar yang ditahan
seharian menjadi sia-sia, entah karena apapun. Tentu kita enggan
menyobek-nyobek uang merah karena tahu nilainya, atau menginjak-injak bubur
ayam karena tahu enaknya. Begitu pula dengan Kencot, kita pasti tak tega
menyia-nyiakannya jika tahu manfaatnya.
PERUT
Kalau bicara lapar, maka kita bicara perut. Konon,
perut adalah sarangnya syahwat dan lahan subur bagi berbagai penyakit serta
bahaya. Ketika si perut tuntas syahwatnya, maka tumbuhlah syahwat kemaluan
(oho’-oho’), jika syahwat makan dan konak terpenuhi, maka akan muncul
keinginan terhadap harta dan perhiasan, lalu seseorang akan berupaya
mengumpulkan harta yang pada akhirnya juga merupakan sarana untuk memenuhi
kebutuhan perut dan bawah perut.
Dalam teori kebutuhan, saat kebutuhan primer
terpenuhi, bahkan berlebih, maka akan muncul nafsu kepada hal-hal sekunder,
lalu komplementer. Bahkan kadang-kadang, hal yang komplementer pun dianggap
primer, tahsiniyyah dianggap hajiyyah.
Begitu terus siklusnya, kepuasan syahwat
menumbuhkan keinginan untuk mengumpulkan harta, ketika sudah terkumpul maka
digunakan untuk memuaskan syahwat lagi. Lalu bangkitlah dorongan-dorongan untuk
berlebih-lebihan, perasaan sombong dan pamer, kebanggan diri dan berbagai macam
tindakan jiwa maupun raga yang berdampak negatif terhadap kesehatan keduanya.
Semua itu disebabkan karena satu hal; pemenuhan kemauan perut yang berlebihan.
Maka tepatlah apa yang disampaikan Sayyiduna ‘Ali
bin Abi Thalib;
“Hancurnya anak Adam disebabkan oleh dua lubang;
lubang masuk perut dan lubang kemaluan.”
Nah, oleh karena itu, keinginan perut haruslah dikendalikan
dengan puasa yang menyebabkan rasa lapar. Ibarat bayi yang sudah kunjung besar
tapi masih menyusu, maka dia harus disapih. Meskipun terus menangis, harus
dipaksa agar bisa lepas dari kebiasaan netek itu. Begitu pun perut, harus diuji
dengan rasa lapar alias kencot.
Indah nian pernyataan Al-Muhaddits Makhul bin
Syahrab As-Syami;
“Ibadah paling utama setelah
ibadah fardu adalah Lapar dan Dahaga.”
LAPAR vs KENYANG
Syaikh Muhammad Khair Ramadhan, dalam mukaddimahnya
di kitab Al-Juu' karya Al-Hafidz Ibnu Abi Dunya memaparkan setidaknya ada
sepuluh faedah rasa lapar, yakni;
(1) Jernihnya hati, tenangnya rasa. Sebaliknya,
kenyang menimbulkan malas, keruhnya hati, dan sulit menghapal, terutama bagi
anak kecil atau pemuda.
(2) Sensitif terhadap kenikmatan ibadah.
Menyebabkan dzikir membekas di jiwa. Munculnya kebijaksanaan. Betapa banyak
orang berdzikir dengan lisan dan memahami maknanya tetapi sama sekali tak
membekas di hati, kecuali setelah dihilangkan hijab berupa rasa kenyang.
As-Sari bin Yan’am Al-Jublani menghibur orang yang lapar; “Tidaklah rasa
lapar itu menyisakan kekosongan, melainkan Allah isi kekosongan itu dengan
Hikmah (Kebijaksanaan) dan Wara’ (Rasa Nrimo dan Sumarah).”
(3) Memunculkan kesadaran tentang kerendahan dan
kehinaan diri (tadzallul), serta berkurangnya keriangan yang bisa
melalaikan hati dari Yang Mahakuasa.
(4) Mengingatkan tentang kekurangan dan kesusahan. Sehingga selalu ingat terhadap keadaan orang susah serta kesengsaraan yang dideritanya. Seorang yang cerdas, tentu akan berpikir bahwa kesusahan di akhirat pasti lebih berat daripada kesusahan di dunia, hal itu akan dirasakannya bila dia terus menerus menjerumuskan diri ke dalam kehancuran yang bermula dari rasa kenyang.
(4) Mengingatkan tentang kekurangan dan kesusahan. Sehingga selalu ingat terhadap keadaan orang susah serta kesengsaraan yang dideritanya. Seorang yang cerdas, tentu akan berpikir bahwa kesusahan di akhirat pasti lebih berat daripada kesusahan di dunia, hal itu akan dirasakannya bila dia terus menerus menjerumuskan diri ke dalam kehancuran yang bermula dari rasa kenyang.
(5) Menekan keinginan untuk maksiat. Karena awal
mula maksiat adalah adanya keinginan dan kekuatan, adanya keinginan dan
kekuatan tentu berasal dari asupan makanan dan rasa kenyang.
(6) Menjadikan susah tidur dan terus terjaga, tidak
ngantukan. Semakin kenyang seseorang, banyak makan, maka makin banyak minum
pula, lalu makin keraslah kerja metabolisme pencernaan sehingga membutuhkan
kadar oksigen ekstra, maka timbullah rasa kantuk dan makin banyak tidurlah ia,
makin banyak tidur maka makin banyak pula waktu terbuang, padahal waktu adalah
modal utama seseorang untuk beribadah.
(7) Memudahkan jalan untuk ibadah. Yusuf bin Asbath
As-Syaibani, seorang zahid yang konon tidak makan kecuali dari harta halal
hasil kerja kerasnya sendiri, bilapun tak ada yang bisa didapatkannya untuk
dibawa ke rumah maka dia akan membungkus tanah agar tidak ada yang merasa
kasihan, pernah berujar;
“Lapar adalah bibit seluruh kebaikan di muka
bumi.”
(8) Menjaga kesehatan. Dengan semakin sedikitnya
makan, makin sedikit pula resiko masuknya sumber penyakit ke dalam perut. Rasulullah
saw. memperingatkan kita tentang potensi negatif perut bagi kesehatan jiwa dan
raga;
“Tidaklah anak Adam memenuhi suatu wadah yang
lebih buruk daripada perutnya sendiri.”
(9) Menjadikan lebih irit pengeluaran. Logis,
karena semakin sedikit makan, tentu makin sedikit pengeluaran untuk memenuhi
kebutuhan makan. Ketika makan pun tidak akan berlebih-lebihan, karena bagi
orang lapar, makanan yang sederhana pun sudah cukup memuaskan.
Dalam hal keiritan dan kecukupan ini, bisa kita
pahami dari ujaran Nabiyullah 'Isa berikut. Suatu hari, para hawari bertanya
kepada Nabi ‘Isa as.;
“Apa yang kita makan Wahai Nabi?”
“Roti gandum.”
“Lalu kita minum apa?”
“Air putih.”
“Kita tidur dimana?”
“Di tanah saja.”
Wahai Tuanku, sepertinya engkau
memerintahkan kami hal-hal yang berat melulu.."
"Loh, kita tidak butuh
apa-apa lagi, karena itu semua sudah cukup memuaskan kalian.”
“Bagaimana bisa?”
“Ya.. Tidakkah kalian lihat..
Bagi orang yang lapar karena puasa, maka sepotong roti gandum pun akan terasa
nikmat. Bagi orang yang haus, setetes air putih amatlah menyegarkan. Bagi orang
yang lelah bangun untuk salat, hamparan bumi ini sangatlah nyaman untuk rebah.”
(10) Membuka jalan untuk menyedekahkan kelebihan
harta atau makanan. Daripada makanan mubadzir karena tidak dimakan, mending
disedekahkan kepada orang lain yang membutuhkan. Dan hal ini justru menjadi
tradisi, bahkan sebaliknya, kebanyakan kaum muslimin berlomba-lomba untuk
menyediakan santap berbuka ala kadarnya bagi orang yang berpuasa.
Selain itu, lapar adalah sunnah Rasulillah saw.,
betapa banyak hadits yang menerangkan tentang laku beliau dengan rasa lapar.
Sebaliknya, kenyang merupakan suatu hal yang tidak pernah dirasakan oleh beliau
‘alaihissholaatu was salaam.
Bahkan, Ummul Mukminin Sayyidah ‘Aisyah ra.
berujar;
“Mula-mula bid’ah yang muncul
setelah Rasulullah saw. wafat adalah rasa kenyang, ketika perut suatu kaum
kenyang maka bergairahlah nafsunya terhadap dunia.”
Mengomentari ucapan Sayyidah ‘Aisyah tersebut, Imam
Ghazali menyimpulkan;
“Wah, jika begitu, maka lapar tidak hanya
mengandung satu faedah, tetapi malah gudangnya berbagai macam faedah (karena
meredupkan api gairah terhadap dunia).”
Begitu berbahayanya rayuan perut sampai-sampai
al-Imam Hasan al-Bashri menyatakan;
“Hal yang ‘memelesetkan’ bapakmu
dahulu, Adam as., adalah makanan (Khuldi). Dan itulah yang akan memelesetkanmu
hingga hari Kiamat kelak.”
LAPAR SEUMUR HIDUP
Paparan di atas bukan berarti kenyang itu mutlak
haram, lapar juga bukan hal yang wajib secara syar’i. Hanya saja, rasa lapar
merupakan teladan salafusshalih, bahkan para nabi terdahulu. Sedangkan rasa
kenyang sudah sangat tenar bahayanya serta bertabur anjuran-anjuran untuk
menjauhinya.
Sebagian ulama Hanafiah bahkan ada yang
mengharamkan kenyang dan bermewah-mewahan dalam hidangan. Namun, Imam Muhammad
Khatib As-Syarbini, seorang imam dari kalangan Syafi’iyyah menyatakan bahwa
tidak bermewah-mewahan dalam hidangan adalah hal yang mubah dan mustahab.
Tapi boleh saja jika ingin menghidangkan berbagai macam makanan, asalkan karena
suatu kebutuhan, misalnya untuk menjamu tamu atau memeriahkan hari raya bersama
keluarga. Dan harus diingat, bahwa berlebih-lebihan terhadap makanan halal
adalah makruh.
Begitu hebatnya kedudukan Lapar, bukan lantas
menjadikan seseorang meninggalkan makan saa sekali. Lapar yang dimaksud adalah
untuk mengontrol nafsu, bukan untuk bunuh diri dengan kelaparan. Sebaik-baik
hal dan lelaku adalah yang moderat, tengah-tengah. Ya makan, ya lapar.
Artinya, silakan makan asalkan tidak sampai
memenuhi perut dan agar tidak merasa tersiksa karena kelaparan. Karena penuhnya
perut bisa menyebabkan kelalaian hati dan keengganan untuk ibadah, sedangkan perihnya
kelaparan pun sama saja bahayanya. Semua itu berlandaskan kesadaran bahwa
tujuan dari aktivitas makan adalah demi kelangsungan hidup dan mengisi energi
dzahir untuk beribadah.
Sehingga, bila aktivitas makan tersebut berlebihan
justru akan melenceng dari tujuan sejatinya. Dengan logika agraria, Al-Husain
bin Abdurrahman menyampaikan;
“Kebanyakan makan bisa mematikan hati
sebagaimana kebanyakan air bisa mematikan tanaman.”
Lalu bagaimana caranya agar kita bisa terhindar
dari kekenyangan dan dapat merasakan lapar terus menerus? Coba simak dialog dua
sufi ini;
“Apa wirid yang kau dawamkan wahai Abdullah?”
tanya Abu Abdirrahman Al-‘Umri.
“Yang kudawamkan adalah tidak
kenyang alias lapar seumur hidup.” Jawab Abdullah bin Marzuq.
“Wah, bagaimana mungkin orang
hidup di dunia kok bisa kuat begitu?”
“Ah gampang saja, Kawan...”
“Caranya?”
“Jangan makan jika belum lapar,
dan berhentilah sebelum kenyang, sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum,
dan sisanya untuk napas. Seperti anjuran Nabi kita Muhammad. Nah, itulah yang
namanya Lapar seumur hidup!”
Sekali lagi saya tekankan, Anda jangan langsung
percaya dengan informasi di atas. lebih baik Anda meragukannya, lalu mulai
membuktikannya sendiri. :)
Wallaahu A'lam
---------
Pustaka;
Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, Syaikh Ahmad bin Ali Al-Jurjawi, Darul Kutubil Islamiyyah, Beirut.
Al-Juu’, Al-Hafidz Abu Bakr Abdullah Ibnu Abi Dunya, Daru Ibnu Hazm Beirut.
Ihya’ ‘Ulumiddin, Al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad A-Ghazali, Maktabah wa
Mathba’ah Al-Masyhad Al-Husaini, Kairo.
Mughnil Muhtaj Syarhul Minhaj, Imam Muhammad Khatib As-Syarbini, Darul Fikr, Beirut.
![]() |
Kitab Al-Juu' (Kencot) susunan Al-Hafidz Abubakar Abdullah bin Muhammad Ibnu Abi Dunya (w. 281 H) |
---
Krapyak, Sya'ban 2012
No comments: