Tolok Ukur ‘Kesuksesan’ Alumni KBQT – KBQTDiary #25
Oleh: @ziatuwel
Sesorean ini kucoba mendata penelitian yang lahir dari lingkungan
KBQT. Dengan sedikit upaya dan bantuan Google, berhasil kudata 29 skripsi, 13
tesis, 14 jurnal, dan 2 disertasi. Artinya, komunitas belajar yang berangkat
dari ide sederhana ini telah membantu lahirnya puluhan cendekiawan dengan
berbagai karya ilmiahnya. Dan semua itu masih terus bertambah, sebab tiap pekan
pasti ada tamu yang harus kami temui.
Setiap kali ada tamu berkunjung ke KBQT, terutama jika yang
datang bertujuan meneliti, ada satu pertanyaan yang tak pernah luput diajukan. Yakni;
bagaimana pencapaian alumni KBQT? Bagaimana kehidupan mereka sekarang? Di mana
mereka melanjutkan karya? Kuliah apa yang diambil? Kerja apa yang digeluti? Apa
kiprah mereka di masyarakat?
Pertama, perlu diketahui bahwa secara prinsip tidak ada
istilah alumni di KBQT. Seorang anak bisa tetap merasa jadi siswa KBQT selama
dia masih berproses bersama di lingkungan KBQT. Adapun jika ada siswa yang
telah pindah lokasi, tidak lagi belajar di lingkungan KBQT, maka ia sekedar dianggap
pindah belajar. Meski demikian, secara teknis memang anak-anak yang tak lagi
wira-wiri setiap hari di KBQT bisa kita sebut sebagai ‘alumni’, ya harus tetap
pakai tanda petik.
Kedua, perlu dipahamkan dulu bagaimana cara pandang warga
belajar di KBQT tentang apa tujuan pendidikan, dan bagaimana proses belajar
semestinya. Kita tentu akan berdebat panjang tak berujung jika tidak menyamakan
persepsi dalam hal ini. Misal, jika kau berpandangan bahwa tujuan pendidikan
adalah pendapatan materi, maka tentu ukuran kesuksesan adalah jenjang karir dan
perolehan harta bendawi. Maka ukuran-ukuran semacam jabatan, gaji, mobil, atau
rumah bisa jadi standarnya. Jika memang begitu pandanganmu maka mending
berhenti baca sampai di sini.
Lalu bagaimana pandangan KBQT tentang tujuan pendidikan dan
makna kesuksesan? Proses pendidikan di KBQT bertujuan untuk belajar dan
berkarya, titik. Tagline di website resmi KBQT yang belakangan kupoles, menyatakan
bahwa KBQT adalah; lembaga pendidikan yang konsisten memerdekakan warga
belajar, berbasis konteks kehidupan. Artinya, tujuan pendidikan dalam kacamata
KBQT adalah memerdekakan warga belajar agar otentik sesuai dengan bagaimana
dirinya, untuk mengembangkan potensi khasnya, serta melek dan bertindak atas realita
di lingkungannya.
Lalu bagaimana kriteria kesuksesan alumni sebagai
ukuran ketercapaian tujuan pendidikan tersebut? Sebagai pendiri dan pendamping
senior di KBQT, Pak Din kerap memberikan jawaban sederhana ketika ditanya
pertanyaan semacam itu. Yakni; tidak menyusahkan orang lain (terutama orang
tua), mandiri dalam hidup, dan berdaya di masyarakat. Tentu ini jawaban
sederhana yang berat.
Mengapa kubilang berat? Untuk lulusan kuliah sekalipun kita
masih bersusah payah mencari sarjana yang bisa memenuhi tiga kriteria itu. Tapi
ternyata tolak ukur ini bisa tercapai di lingkungan KBQT yang hanya berjenjang
SMP-SMA. Salah satu penelitian FISIPOL UGM menyebutkan bahwa tantangan yang
musti dijawab oleh alumni KBQT adalah keterlibatan mereka dalam aksi
kemasyarakatan. Namun untuk melihat hal ini tentu butuh waktu, sebab alumni
angkatan pertama KBQT masih berusia 25-30, belum bisa diteropong secara konsisten
peran sosialnya di masyarakat.
Adapun untuk ukuran kemandirian hidup agaknya KBQT memang
musti bangga. Anak-anak angkatan pertama yang dahulu berproses di KBQT kini
sudah bisa hidup mandiri tanpa mengandalkan ijasah. Juga pantas bangga dengan para
alumni yang terus melanjutkan proses belajar mereka di kampus-kampus pilihan
masing-masing. Jika didata satu persatu tentu butuh energi yang tak sedikit.
Kita cukupkan dengan melihat sampel alumni KBQT asal
Kalibening saja. Hilmi, putra pertama Pak Din, kini beternak ayam petelor. Maghfur
juga beternak telor bebek. Hanif yang kini jadi pendamping belajar, bisnis budidaya
jamur. Istrinya, Zulfa yang juga jadi pendamping belajar, bisnis perlengkapan bayi
dan gamis. Isma usaha jahit celana, Ipung membuka bisnis sablon kaos, Taqi
menggarap usaha kemeja batik bayi. Dewi bisnis kaos kaki, Qonaah usaha video
shooting, Sofian terima order sketsa, Zati bergelut di bisnis jajanan. As’ad
dan istrinya, Iffah, yang sama-sama alumni, usaha jamu. Ais pegang konveksi,
Emi bisnis cilot dan reparasi sofa, Eni produksi susu murni, dan istriku Fina menekuni
perdagangan buku online. Mereka tidak merantau, berdaya di kampungnya sendiri.
Belum lagi jika kita sebutkan alumni yang kini bekerja
sebagai bidan, voice over televisi, scriptwriter, guru, dosen, dan seterusnya. Secara
umum, alumni KBQT masih dalam rentang usia meniti karir, merintis usaha, atau
memulai keluarga. Belum bisa diukur bagaimana kiprah sosial mereka di tengah
masyarakat. Namun yang pasti dan perlu digarisbawahi, adalah bahwa kemandirian
dan keberdayaan diri warganya betul-betul tercapai dari komunitas belajar ini.
Tentu saja beda urusan jika yang kau tanyakan adalah; kok
nggak ada yang juara olimpiade? Mana yang jadi caleg?
Kalibening, 14/4/2019
No comments: