SINGULARISME PESAN MORAL AGAMA-AGAMA SEBAGAI KUNCI KERUKUNAN ANTARUMAT BERAGAMA
Oleh:
Zia Ul Haq
Santri
Madrasah Huffadh 1 Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta
Konten;
Mukadimah
Sampel Kasus; Konflik Demak-Majapahit, Poso, dan Ketapang
Faktor Pemantik Anarkisme
Keberagaman Agama di Indonesia
Persamaan Pesan Moral Antar-agama
Singularisme
MUKADIMAH
Agama merupakan suatu sistem kepercayaan
manusia terhadap Tuhan yang memiliki berbagai macam aspek, yakni keimanan
(transenden), peribadatan (ritual) maupun nilai moral (etika). Di dalam
kehidupan berbangsa di Indonesia, terdapat berbagai macam agama yang berkembang
dan kemudian dianggap resmi menurut undang-undang, yakni Hindu, Buddha, Islam,
Kristen (Katolik dan Protestan) serta Kong Hu Cu. Sudah jelas dengan sendirinya
bahwa setiap hal mempunyai persamaan sekaligus perbedaan dengan hal-hal
lainnya, demikian halnya dengan agama-agama. Bila tidak ada persamaan pada
agama-agama, maka tidak bisa disebut dengan nama yang sama: “agama.” Bila tidak
ada perbedaannya di antaranya, maka tidak akan pula disebut dengan kata
majemuk: “agama-agama.” Perbedaan-perbedaan yang ada acapkali dituduh menjadi
faktor konflik fisik antar pemeluk agama, meskipun sebenarnya ada banyak faktor
lain yang mendalanginya.
Keberagaman dalam peradaban umat manusia merupakan suatu fitrah
yang tak terelakkan, khususnya di negeri yang majemuk seperti Indonesia. Secara
historis, kepulauan Nusantara yang sekarang bernama “Indonesia” ini memang
sudah menjadi tempat hijrah manusia dari berbagai penjuru bumi. Perkumpulan
bermacam ras manusia ini jualah yang mewarnai bumi Nusantara dengan aspek-aspek
peradaban yang mengikutinya, baik itu budaya maupun agama.
Perbedaan-perbedaan yang terkandung di masing-masing kepercayaan
merupakan keniscayaan. Apalagi jika berkaitan dengan perkara ritual dan konsep
ketuhanan atau teologi. Namun hal yang menjadi permasalahan adalah ketika
perbedaan-perbedaan yang ada memancing sensitivitas relijius dan mengarah ke
aksi anarkisme berupa konflik fisik horisontal. Dan hal ini telah terbuktikan
oleh sejarah dengan terjadinya banyak kasus kerusuhan atas nama agama. Konflik
yang terjadi bisa berupa kekerasan fisik, unjuk rasa, atau lainnya.
Akan tetapi, mengembalikan kejadian-kejadian itu melulu pada
kenyataan perbedaan agama tidaklah mencukupi, mengingat konflik juga terjadi di
antara orang atau kelompok-kelompok dengan agama yang sama. Maka dari itu,
kerukunan yang perlu dibangun bukan hanya kerukunan antaragama, melainkan juga
kerukunan antarorang atau kelompok dalam agama yang sama. Dengan kata lain,
tidaklah cukup bahwa kerukunan sejati dibangun atas dasar agama saja, yang
makin jelas kalau menyangkut hubungan atarumat beragama yang berbeda.
Padahal, konflik yang mengatasnamakan agama sama sekali berada di
luar semangat keilahian (divine spirit) agama-agama. Semangat agama yang
diwahyukan adalah cinta dan kasih. Bahkan cinta dan kasih Tuhan yang
diperkenalkan oleh para utusan melampaui kemurkaan-Nya.
Pada umumnya, konflik yang mengatasnamakan agama disebabkan oleh
penyimpangan arah proses sosial yang berkorelasi logis dengan bentuk-bentuk
menyimpang interaksi sosial antarumat beragama. Bila agama adalah cinta dan
kasih, maka interaksi sosial antara umat beragama mestinya didasarkan pada
prinsip-prinsip cinta dan kasih itu. Namun tampaknya persoalan tersebut bukan
sesuatu yang mudah.
Salah satu hal yang penulis tawarkan di dalam tulisan ini adalah
pentingnya pemahaman terhadap pesan-pesan moral agama yang mengandung banyak
kesamaan. Pesan-pesan universal yang ada di dalam spiritualisme semua agama
inilah yang menitikberatkan keserupaan peran agama-agama sebagai jalan menuju
kesempurnaan manusia, dan bahwa untuk meraih kesempurnaan itu terdapat banyak
pintu menuju Tuhan, tanpa harus menafikan eksistensi agama-agama yang sudah
mengakar di dalam kehidupan berbangsa masyarakat Indonesia. Sebab, pada
dasarnya, “to be human is to be homo religiosus”; menjadi manusia
berarti menjadi makhluk beragama.[1]
SAMPEL KASUS; KONFLIK DEMAK – MAJAPAHIT, POSO DAN KETAPANG
Keberagaman
agama di Indonesia tidak terlepas dari faktor sejarah dan sosial budaya.
Fenomena yang terjadi dalam keberagaman itupun tidak bisa dilepaskan dari
aspek-aspek sosial budaya yang melingkupinya. Adanya konflik atau pergesekan
antar umat beragama merupakan suatu obyek kajian yang harus dicermati secara
detail, apakah terjadi murni karena faktor agama itu sendiri, ataukah karena
faktor-faktor eksternal berupa politik maupun ekonomi.
Sejarah telah
menunjukkan kepada kita betapa pahitnya akibat dari konflik-konflik sosial
bernuansa keagamaan. Hal ini tidak hanya terjadi di masa kontemporer tetapi
juga di zaman klasik ketika nama “Indonesia” belum mengikat keanekaragaman bangsa
di Nusantara.
Konflik antara
Kesultanan Islam Demak dengan Kraton Hindu-Buddha Majapahit misalnya, telah
menyisakan kerugian yang tidak sedikit selama beberapa abad setelahnya.[2]
Penyerbuan Walisongo atas ibukota Majapahit adalah kejadian yang
sangat menarik untuk diketahui, karena banyak pelajaran yang dapat ditarik dari
peristiwa tersebut. Ia bermula dari serbuan Kusuma Wardani yang memimpin
Kadipaten Kediri, salah seorang putera Prabu Brawijaya V, atas prajurit muslim
di Troloyo – sekitar satu kilometer dari Trowulan. Menurut spekulasi Gus Dur,
Kusuma Wardani marah atas proses islamisasi Kraton Majapahit. Karena itulah, ia
memutuskan menyerbu Kraton itu dan mengusir Prabu Brawijaya V yang kemudian
melarikan diri dan bertapa di Gunung Lawu, sebelah barat Magetan.
Sehabis menyerbu Kraton Majapahit, pasukan-pasukan Kusuma Wardani
menyerbu pertahanan kaum muslimin di Troloyo. Dalam pertempuran itu
berguguranlah Syaikh Abdul Qohhar (Maling Cluring), Syaikh Usman Ngudung, dan
Tan Kim Han, salah seorang duta besar China yang beragama Islam dan menggunakan
nama Arab Abdul Qodir Jaelani. Di tempat itulah dikuburkan orang-orang Hindu
Budha, setelah Kerajaan Majapahit hancur total.
Gugurnya para pemimpin tentara Islam di Troloyo itu diikuti oleh
penguasaan Kusuma Wardani atas Kraton Majapahit yang lebih mempertahankan agama
Hindu-Budha, sehingga ia berposisi sebagai Prabu Brawijaya VI. Hal ini
mengakibatkan reaksi tajam. Walisongo, yang sementara itu telah berhasil
mendirikan Kesultanan Demak, memutuskan untuk menggunakan kekerasan dan
membentuk pasukan rakyat, berjumlah sekitar 350 ribu orang. Pasukan Kesultanan
Demak membumihanguskan Kraton Majapahit setelah berhasil mengalahkan prajurit
Prabu Brawijaya VI, yang justru kompensasi yang harus diterima adalah kehilangan
banyak sekali data sejarah tentang catatan masa lampau.
Dari contoh di atas, terlihat jelas bahwa faktor politik sangat
kental menjadi penyebab peperangan bernuansa agama. Belum lagi jika kita
mencermati beberapa persinggungan antaragama di zaman kontemporer ini. Konflik
antara umat Islam dan Kristen di Poso sekiranya bisa menjadi sampel.
Konflik di poso adalah salah satu
konflik di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah
beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso.
Pelbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum
konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatar belakang agama, namun kalau kita
meneliti lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan golongan yang
mewarnai konflik tersebut.
Konflik
Poso yang telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis
yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan
sepele berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam
kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu
miras, isu tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya
dieksploitasi oleh petualang politik melalui instrumen isu pendatang vs
penduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan
sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik
diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang
semula hanya berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen
bangsa.
Akar
penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian,
namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis.
Dalam politik keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial
Belanda yang dalam konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk
dukungan finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan
dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik,
terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik
agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama
dalam konstelasi politik Poso, yakni: Poso identik dengan komunitas Kristen,
dan birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di era
kemerdekaan fakta keagamaan itu terjadi proses pembalikan. Jika tahun 1938
jumlah umat Kristen Poso mencapai angka 41,7 persen, lama-lama
tinggal 30-an persen. Data tahun 1997 bahwa Muslim Poso mencapai angka 62,33
persen, sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya 0,51 persen,
ditambah sisanya Budha dan Hindu.
Proses
pembalikan ini bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat migrasi kewilayahan,
sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso,
konstelasi sosio ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas
perubahan komposisi komunitas ini, terutama berupa proses pemiskinan di
kalangan penduduk asli. Proses pemiskinan ini terjadi baik karena kultur
kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural), seperti
lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke
Palu lewat Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses
migrasi pendatang muslim yang masuk ke wilayah basis Kristen.
Pendatang
Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan
perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keislaman kuat, hampir selalu
membangun tempat ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak
saja menandai terjadinya pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam
komunitas keagamaan.
Fakta
pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada
konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era
kemerdekaan, kaum terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya
mulai ikut bersaing dalam lapangan birokrasi. Di sinilah, politik komunitas
keagamaan mulai bermain pula dalam dunia kepegawaian, antara lain: (1) Kristen
yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan baru kalangan Islam. (2)
Jabatan strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiah terjadi
peralihan tangan. Dalam situasi inilah politik agama dalam konteks birokrasi
kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan masyarakat Poso. Perspektif komunitas
keagamaan dalam konteks persaingan politik birokrasi, lengkap imbasnya berupa
pembagian berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting
dalam mencermati konflik Poso.
Dari
situ tampak sekali bahwa aktor-aktor dalam konflik sebenarnya sangat kompleks,
melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, di samping
kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula
kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para
laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang
memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan kekuasaan.[3]
Begitu pula dengan
insiden Ketapang pada tahun 1998 terhadap gereja-gereja Kristen yang barangkali
merupakan satu faktor penyebab peperangan Kristen-Islam di Ambon, yakni adanya
hasutan antara orang Betawi (penduduk Jakarta asli). Sejak tahun 1990 telah
terjadi serangan-serangan terhadap gereja dengan peningkatan momentum, mencapai
klimaksnya pada insiden yang mengerikan tahun 1996 dan 1997 di Surabaya,
Tasikmalaya dan Rengasdengklok, sedangkan di bagian timur Indonesia telah
terjadi serangan terhadap masjid-masjid. Serta berbagai bentrok di penjuru
tempat di Indonesia yang sayangnya diperparah oleh faktor politik, secara
parsial dari TNI dan Polri serta orang-orang yang datang dari luar dan
melibatkan diri di dalamnya.
Faktor Pemantik Anarkisme
Budaya kekerasan dan
anarkisme yang didemonstrasikan oleh berbagai bentuk konflik di atas bisa
berkembang setidaknya karena empat faktor.
Pertama, faktor modernisasi dan
globalisasi. Kedua hal ini memiliki daya tekan yang luar biasa terhadap
masyarakat karena keuntungan dan ancamannya tidak terdistribusikan secara
merata. Hanya mereka yang berada dalam kelompok kelas menengah ke atas yang
bisa menikmatinya, sedangkan sisanya merasa terancam. Sehingga menempatkan
masyarakat ke dalam keadaan stres sepanjang masa.
Kedua, faktor akumulasi
kebencian dalam masyarakat. Yakni mudahnya masyarakat terprovokasi, disebabkan
oleh kecenderungan eksklusivisme yang cenderung meningkat, baik dalam komunitas
agama maupun komunitas suku. Orang-orang dari agama lain dianggap ‘kafir’ yang
mesti diperangi. Saling tidak percaya, prejudis (sangkaan) berakumulasi
dan hubungan antarkomunal menjadi panas.
Ketiga, mengguritanya budaya
kekerasan di masyarakat. Yakni kecekatan dan kecepatan untuk melakukan tindakan
kekerasan dengan brutal. Hal ini menunjukkan ada sesuatu yang salah di dalam
mentalitas masyarakat Indonesia yang realitanya begitu plural. Padahal, bangsa
yang plural seperti ini hanya bisa hidup bersama secara damai jika mereka
membuang kapabilitas psikologis yang memunculkan sikap intoleran. Faktor ini
bisa jadi disebabkan oleh faktor keempat.
Keempat, faktor sosial politik.
Orde baru (pada saat itu) pada dasarnya merupakan sistem kekerasan yang dilembagakan. Kekuasaan
sesungguhnya berada di tangan militer, di mana perbedaan pendapat dan protes
selalu diselesaikan secara brutal. Masyarakat merasa diri mereka menjadi
“korban pembangunan”, teapi mereka tidak boleh berbicara, sebab jika mereka
memprotes, maka mereka akan dituduh sebagai komunis atau malah Islam ekstrim.
Apa yang dipelajari oleh masyarakat hanyalah bahwa pemerintah sekedar mengerti
satu bahasa, yakni: kekerasan.[4]
Dari beberapa contoh
konflik fisik di atas, dan sekelumit tentang faktor penyebabnya, kita bisa
menyimpulkan betapa benar –seperti disampaikan oleh Gus Dur - bahwa begitu
pentingnya arti kerukunan antarumat beragama serta arti toleransi bagi
bangsa-bangsa dan suku-suku di wilayah Indonesia ini. Sebagai implikasi dari
pandangan ini, menurut beliau, tepat sudahlah kebijakan yang diambil oleh para
pendiri republik ini dengan kearifan untuk menghapuskan Piagam Jakarta di dalam
pembukaan UUD 1945. Sebuah tindakan untuk menghilangkan dominasi suatu agama
tertentu di atas agama-agama lain yang bisa berimbas kepada bidang-bidang
non-agama serta memantik konflik-konflik bernuansa agama.[5]
KEBERAGAMAN AGAMA DI INDONESIA
Berbicara tentang Indonesia, kita harus berbicara tentangnya
sebagai sebuah nation-state dalam pengertian modern. Sebuah negara
bangsa yang tidak serta merta muncul begitu saja di muka bumi, melainkan
memiliki latar sejarah yang panjang, khususnya di dalam kehidupan beragama.
Sebelum kedatangan agama-agama Hindu, Budha, Islam, Kristen,
maupun Kong Hu Cu di wilayah Indonesia, sudah ada sistem kepercayaan yang
dianut oleh suku-suku bangsa asli, apa yang dikatakan sebagai suku-suku bangsa
sekarang ini adalah bangsa-bangsa dalam unit kecil. Mereka memiliki agama dan
kepercayaan tersendiri yang berkaitan dengan identitas dan harga diri mereka.
Inilah yang dalam ilmu-ilmu sosial disebut sebagai agama-agama suku, atau dalam
kacamata kepentingan politik praktis biasa disebut sebagai berbagai kelompok
kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa.[6]
Pada saat itu, agama-agama suku hidup terisolasi sebagaimana
kehidupan suku-suku bangsa itu sendiri. Hilangnya isolasi tersebut barulah
terjadi setelah kedatangan apa yang dinamakan sebagai agama-agama dunia.
Agama-agama ‘junior’ inilah yang sekarang ini diakui sebagai agama sah di Indonesia,
yakni Hindu, Budha, Islam, Kristen dan Kong Hu Cu. Di samping ajaran
agama-agama ini lebih bersifat universal, para penganutnya pun terdiri dari
berbagai bangsa dan bahasa.
Agama-agama ‘junior’ ini sebagian berhasil membentuk kerajaan dan
negara yang besar, sekaligus mendobrak isolasi suku-suku bangsa itu serta
mempersatukan mereka sebagai satu bangsa dan rakyat dalam sebuah kawasan
berkepulauan ini.
Dalam hal inilah, menurut hemat penulis, peranan strategis
agama-agama yang ada di Indonesia dalam menciptakan wawasan kebangsaan yang
relijius dan agamis, yakni rasa kebangsaan yang bertumbuh kembang dalam
landasan nilai agama-agama yang dianut oleh rakyat Indonesia. Dan wawasan
kebangsaan ini tidak hanya diilhami oleh satu ajaran saja, melainkan juga semua
penganut agama yang ada.
Untuk itulah pentingnya pemahaman terhadap ‘anatomi’ agama-agama
besar di Indonesia tersebut, khususnya karakteristik nilai moral normatif yang
memiliki kesamaan. Dalam pembahasan ini, kita harus mengenal terlebih dahulu
ajaran-ajaran pokok dari agama-agama besar yang secara otoritatif memiliki
peran strategis tersebut.
Meskipun tidak mengupas keseluruhan isi
ajaran agama yang mencakup ranah transendental
(keimanan) maupun ritual,
setidaknya pembahasan tentang sekilas
konsep agama-agama yang bersangkutan sudah
mencukupi untuk menarik benang merah persamaan nilai moral setiap
agama secara global.
Adapun seluk beluk
agama-agama yang dibahas di sini adalah agama-agama resmi yang ada di Indonesia
menurut senioritas keberadaannya berdasarkan catatan sejarah, yakni Hindu,
Buddha, Islam, Kristen dan Kong Hu Cu.
1. Hindu[7]
Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama
Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha
seperti Kutai, Mataram dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa
dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam
mulai berkembang. Periode ini, dikenal sebagai periode Hindu-Indonesia,
bertahan selama 16 abad penuh.
Sanatana
Dharma adalah nama
lain untuk agama Hindu, sebuah agama yang sudah ada sebelum agama-agama lain
ada. Tidak ada bukti yang pasti kapan agama Hindu muncul. Nyatanya, ia dimulai
pada suatu zaman tertentu. Nama “Hindu” yang sekarang lazim dikenal dan telah
dipergunakan secara umum di seluruh dunia, merupakan nama asing karena nama itu
diberikan oleh orang yang bukan Hindu. Nama tersebut disematkan pada kelompok
masyarakat yang memiliki agama dan tradisi Dharma.
Jiwa dari sistem agama adalah kepercayaan.
Agama selalu mencakup masalah percaya dan kepercayaan, inilah keimanan. Dalam
agama Hindu, iman disebut dengan Sraddha.
Sedangkan pokok-pokok ajaran Hindu
tertuang dalam Panca Sraddha, yakni:
Ø Percaya terhadap adanya Brahman (Sang
Hyang Widhi)
Ø Percaya terhadap Atman yang merupakan
percikan dari Atman tertinggi yakni Brahman
Ø Percaya terhadap Hukum Karmaphala (balasan perbuatan)
Ø Percaya terhadap adanya Punarbawa atau lingkaran kelahiran
kembali
Ø Percaya terhadap adanya Moksa atau kelepasan jiwa dari ikatan
duniawi.
Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di
Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah
dibangun sekitar periode yang sama. Seperti kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Kedatangan agama Buddha telah dimulai dengan aktivitas
perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Indonesia. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia,
mencakup candi
Borobudur di Magelang dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih
awal.
Buddha berarti Yang Sadar, merupakan sebutan bagi seseorang yang telah mencapai
Penerangan Sempurna, yakni suatu kondisi batin yang telah berkembang meningkat
sedemikian rupa sehingga mampu menyadari kenyataan atau kebenaran yang terdapat
dalam kehidupan ini. Orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna ini adalah
Siddharta Gotama yang lahir pada tahun 623 SM di India Utara dan wafat pada
usia 80 tahun yakni 543 SM. Beliau lahir sebagai putra mahkota Kerajaan
Kapilavatthu yang sekarang berlokasi di dekat perbatasan India dengan Nepal.
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukanlah Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal.
Di
dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara
samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana
satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir.
Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya.
Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah
kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru
bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan
rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
Nilai-nilai
kemoralan yang diharuskan untuk umat awam Buddha biasanya dikenal dengan Pancasila.
Kelima nilai-nilai kemoralan untuk umat awam adalah:
Ø Aku
bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
Ø Aku
bertekad akan melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang tidak
diberikan.
Ø Aku
bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila
Ø Aku
bertekad akan melatih diri menghidari melakukan perkataan dusta
Ø Aku
bertekad akan melatih diri menghindari makanan atau minuman yang dapat
menyebabkan lemahnya kesadaran
Selain
nilai-nilai moral di atas, agama Buddha juga amat menjunjung tinggi karma
sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip sebab akibat. Kamma (bahasa Pali) atau Karma
(bahasa Sanskerta) berarti perbuatan atau aksi. Jadi ada aksi atau karma baik
dan ada pula aksi atau karma buruk. Saat ini, istilah karma sudah terasa umum
digunakan, namun cenderung diartikan secara keliru sebagai hukuman
turunan/hukuman berat dan lain sebagainya. Kamma atau sering disebut sebagai
Hukum Kamma merupakan salah satu hukum alam yang berkerja berdasarkan prinsip
sebab akibat. Selama suatu makhluk berkehendak, melakukan kamma (perbuatan)
sebagai sebab maka akan menimbulkan akibat atau hasil. Akibat atau hasil yang
ditimbulkan dari kamma disebut sebagai Kamma
Vipaka.
3. Islam[9]
Kata Islam berarti berserah diri kepada Tuhan, agama ini adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan lebih dari satu seperempat miliar orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama
terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen. Pengikut ajaran Islam dikenal
dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan", atau
lebih lengkapnya (dalam bentuk plural) adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat
bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.
Kepercayaan dasar Islam dapat ditemukan
pada kalimah syahādatāin ("dua kalimat
persaksian"), yaitu "asyhadu an-laa ilaaha illallaah, wa asyhadu
anna muhammadan rasuulullaah" - yang berarti "Saya bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw adalah utusan
Allah". Esensinya adalah prinsip keesaan Tuhan dan pengakuan terhadap
kenabian Muhammad. Adapun bila seseorang meyakini dan
kemudian mengucapkan dua kalimat persaksian ini, ia dapat dianggap telah
menjadi seorang muslim dalam status sebagai mualaf (orang yang baru masuk
Islam dari kepercayaan lamanya).
Kaum Muslim percaya bahwa Allah mengutus
Muhammad sebagai Nabi
terakhir
setelah diutusnya Nabi Isa enam abad sebelumnya. Agama
Islam mempercayai bahwa al-Qur'an dan Sunnah (setiap perkataan dan
perbuatan Muhammad) sebagai sumber hukum dan peraturan hidup yang fundamental. Mereka tidak menganggap
Muhammad sebagai pengasas agama baru, melainkan sebagai penerus dan pembaharu
kepercayaan monoteistik yang diturunkan kepada Ibrahim, Musa, Isa, dan nabi oleh Tuhan yang sama. Islam
menegaskan bahwa agama Yahudi dan Kristen belakangan setelah
kepergian para nabinya telah membelokkan wahyu yang Tuhan berikan kepada
nabi-nabi ini dengan mengubah teks dalam kitab suci, memperkenalkan intepretasi
palsu, ataupun kedua-duanya.
Umat Islam juga meyakini al-Qur'an yang disampaikan oleh Allah
kepada Muhammad. melalui perantara Malaikat Jibril adalah sempurna dan tidak ada keraguan
di dalamnya (Al-Baqarah [2]:2). Di dalam al-Qur'an Allah juga telah
berjanji akan menjaga keotentikan al-Qur'an hingga akhir zaman.
Adapun sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an, umat Islam juga diwajibkan
untuk beriman dan meyakini kebenaran kitab suci dan firman-Nya yang diturunkan
sebelum al-Qur'an (Zabur, Taurat, Injil dan suhuf para nabi-nabi
yang lain) melalui nabi dan rasul terdahulu sebelum Muhammad. Umat Islam juga percaya
bahwa selain al-Qur'an, seluruh firman Allah terdahulu telah mengalami
perubahan oleh manusia. Mengacu pada kalimat di atas, maka umat Islam meyakini
bahwa al-Qur'an adalah satu-satunya kitab Allah yang benar-benar asli dan
sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya.
Islam
memberikan banyak amalan keagamaan. Para penganut umumnya digalakkan untuk
memegang Lima
Rukun Islam, yaitu lima pilar yang menyatukan Muslim
sebagai sebuah komunitas. Tambahan dari Lima Rukun, hukum Islam
(syariah) telah membangun tradisi perintah yang telah menyentuh pada
hampir semua aspek kehidupan dan kemasyarakatan. Tradisi ini meliputi segalanya
dari hal praktikal seperti kehalalan, perbankan,
jihad
dan zakat.
Isi
dari lima Rukun Islam itu adalah:
Ø Mengucapkan
dua
kalimah syahadat dan meyakini bahwa tidak ada yang berhak
ditaati dan disembah dengan benar kecuali Allah saja dan meyakini bahwa Muhammad
adalah hamba dan rasul Allah.
Umat Islam meyakini doktrin bahwa Agama
Islam yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad adalah bentuk Kasih
Sayang-Nya terhadap alam semesta atau rahmatan lil ‘aalamiin. Juga
terkait dengan tugas diutusnya Nabi Muhammad yakni sebagai pembenah moralitas
manusia secara keseluruhan. Maka banyak sekali aspek pembenahan sosial yang
sangat kompleks dan ditekankan untuk dilakukan oleh penganut agama Islam.
Agama Kristen untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian
pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis,
yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
Kata Kristen sendiri memiliki arti
"pengikut Kristus atau "pengikut Yesus". Murid-murid Yesus
Kristus untuk pertama kalinya disebut Kristen ketika mereka berkumpul di
Antiokia (Kisah
Para Rasul 11:
26c).
Agama Kristen termasuk salah satu dari agama Abrahamik yang berdasarkan hidup, ajaran,
kematian dengan penyaliban, kebangkitan, dan kenaikan Yesus dari Nazaret ke surga, sebagaimana
dijelaskan dalam Perjanjian
Baru,
umat Kristen meyakini bahwa Yesus adalah Mesias yang dinubuatkan dalam dari
Perjanjian Lama (atau Kitab suci Yahudi). Kekristenan
adalah monoteisme, yang percaya akan tiga pribadi (secara
teknis dalam bahasa Yunani hypostasis) Tuhan atau Tritunggal. Tritunggal dipertegas pertama kali
pada Konsili Nicea Pertama (325) yang dihimpun oleh Kaisar Romawi Konstantin I.
Pemeluk agama Kristen mengimani bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru Selamat, dan
memegang ajaran yang disampaikan Yesus Kristus. Dalam kepercayaan Kristen,
Yesus Kristus adalah pendiri jemaat (gereja) dan kepemimpinan gereja
yang abadi (Injil Matius 16: 18-19)
Umat Kristen juga percaya bahwa Yesus
Kristus akan datang pada kedua kalinya sebagai Raja dan Hakim akan dunia ini.
Sebagaimana agama
Yahudi,
mereka menjunjung ajaran moral yang tertulis dalam Sepuluh Perintah Tuhan atau Dekalog.
Ø Akulah Tuhan, Allahmu, Jangan menyembah berhala, berbaktilah
kepada-Ku saja, dan cintailah Aku lebih dari segala sesuatu.
Ø Jangan menyebut Nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat.
Ø Kuduskanlah hari Tuhan.
Ø Hormatilah ibu-bapamu.
Ø Jangan membunuh.
Ø Jangan berzinah.
Ø Jangan mencuri.
Ø Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu.
Ø Jangan mengingini istri sesamamu.
Ø Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.
Dalam pandangan Kristen Protestan tentang Sepuluh Perintah Tuhan
tersebut, bagian pertama sampai keempat mengatur tentang hubungan manusia
dengan Tuhan, sedangkan perintah kelima sampai kesepuluh mengatur hubungan
manusia dengan sesama.
5. Kong
Hu Cu[11]
Agama Konghucu berasal dari Cina daratan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga
Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Kong Hu Cu lebih menitikberatkan
pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik
melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik,
atau jalan hidup atau pergerakan sosial.
Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu (juga: Kong Fu Tze
atau Konfusius) dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Rujiao yang berarti agama dari
orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Kong Hu Cu memang
bukanlah pencipta agama ini melainkan beliau hanya menyempurnakan agama yang
sudah ada jauh sebelum kelahirannya. Meskipun orang kadang mengira bahwa Kong
Hu Cu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia.
Dalam agama Kong Hu Cu atau Khonghucu (Ru Jiao) juga terdapat
ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Agama Kong Hu Cu juga
mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut
"Ren Dao" dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang
Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah
"Tian" atau "Shang Di".
Ajaran falsafah ini diasaskan oleh Kong Hu Cu (Konfusius) yang dilahirkan pada tahun 551 SM Chiang Tsai yang saat itu berusia 17 tahun. Seorang yang bijak sejak
masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32
tahun, Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku moral, sejarah, kesusasteraan dan
falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Ia meninggal dunia pada
tahun 479 SM.
Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga
hubungan antara manusia di langit dengan manusia di bumi dengan baik.
Penganutnya diajar supaya tetap mengingat nenek moyang seolah-olah roh mereka
hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah dan etika yang
mengajar bagaimana manusia bertingkah laku.
Konfusius tidak menghalangi orang Tionghoa menyembah keramat dan
penunggu tapi hanya yang patut disembah, bukan menyembah barang-barang keramat
atau penunggu yang tidak patut disermbah, yang dipentingkan dalam ajarannya
adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha memperbaiki moral.
Ajaran ini dikembangkan oleh muridnya, Mensius, ke seluruh Tiongkok dengan beberapa perubahan. Kong Hu Cu disembah sebagai seorang dewa dan falsafahnya menjadi agama baru, meskipun dia sebenarnya
adalah manusia biasa. Pengagungan yang luar biasa akan Kong Hu Cu telah mengubah
falsafahnya menjadi sebuah agama dengan diadakannya perayaan-perayaan tertentu
untuk mengenang Kong Hu Cu. Berdasarkan kitab Zhong Yong, agama adalah
bimbingan hidup karunia Tian/Tuhan Yang Maha Esa (Tian Shi) agar manusia mampu
membina diri hidup di dalam Dao atau Jalan Suci, yakni "hidup menegakkan
Firman Tian yang mewujud sebagai Watak Sejati, hakikat kemanusiaan". Hidup
beragama berarti hidup beriman kepada Tian dan lurus satya menegakkan
firmanNya.
Intisari ajaran Khong Hu Cu
terdiri atas 8 Pengakuan Iman, 5 Sifat Kekekalan, 5 Hubungan Sosial, dan 8
Kebajikan. Perinciannya sebagai berikut;
Delapan Pengakuan Iman (Ba Cheng Chen Gui) dalam agama Khonghucu:
Ø Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian)
Ø Sepenuh Iman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen Jie De)
Ø Sepenuh Iman Menegakkan Firman Gemilang (Cheng Li Ming Ming)
Ø Sepenuh Iman Percaya adanya Nyawa dan Roh (Cheng Zhi Gui Shen)
Ø Sepenuh Iman memupuk Cita Berbakti (Cheng Yang Xiao Shi)
Ø Sepenuh Iman mengikuti
Genta Rohani Nabi Kongzi (Cheng Shun Mu Duo)
Ø Sepenuh Iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing Shu)
Ø Sepenuh Iman menempuh Jalan Suci (Cheng Xing Da Dao)
Lima Sifat
Kekekalan (Wu Chang); Ren – Cintakasih, Yi – Kebenaran / Keadilan / Kewajiban,
Li – Kesusilaan dan Kepantasan, Zhi – Bijaksana, Xin - Dapat Dipercaya.
Lima Hubungan Sosial (Wu Lun):
Ø Hubungan antara Pimpinan dan Bawahan
Ø Hubungan antara Suami dan Isteri
Ø Hubungan antara Orang tua dan anak
Ø Hubungan antara Kakak dan Adik
Ø Hubungan antara Kawan dan Sahabat
Delapan Kebajikan (Ba De): Xiao - Laku Bakti, Ti - Rendah Hati,
Zhong – Setia, Xin - Dapat Dipercaya, Li – Susila, Yi – Bijaksana, Lian - Suci
Hati, Chi - Tahu Malu.
PERSAMAAN PESAN
MORAL ANTAR-AGAMA DI INDONESIA
Dari uraian tentang konsep dasar enam agama resmi di Indonesia di
atas, setidaknya kita bisa menyimpulkan adanya titik-titik temu yang berkaitan
dengan pesan moral. Perbedaan-perbedaan mendasar tentang konsep teologis memang
tidak bisa dinafikan. Pluralitas seperti ini adalah suatu kenyataan yang harus
diarifi, bukan untuk dicampuradukkan, juga bukan menjadi senjata untuk klaim
kebenaran.
Prinsip bahwa agama memegang kebenaran transendental memang dapat
diterima. Mutlaknya, kebenaran agama terbukti dengan penggunaannya sebagai
landasan kehidupan berbangsa dan bernegara: moralitas yang luhur, ketaatan
kepada Tuhan, kewajiban melaksanakan ajaran agama, dan seterusnya. Tidak ada
agama yang mau melepaskan ‘hak tunggal’-nya untuk memonopoli ‘kebenaran
ajaran’, karena persamaan teologis antara dua agama tidak akan mungkin ada
kalau diartikan sebagai hak merumuskan kebenaran mutlak Tuhan.[12]
Di abad pertengahan, teologi pernah disebut sebagai the queen
of the science: ilmu pengetahuan paling tinggi dan otoritatif. Semua hasil
penelitian rasional harus sesuai dengan teologi. Pandangan keagamaan
mendominasi pemikiran manusia. Ketika ada perselisihan pandangan, maka
pandangan keagamaan harus dimenangkan. Dalam perkembangan ilmu-ilmu teologi di
kemudian hari, muncul asumsi dasar: bahwa hanya agama tertentu saja yang benar,
agama-agama lain dianggap tidak benar. Tuntutan eksklusif partikularis ini –oleh
para pemerhati studi agama- disebut truth claim: klaim kebenaran. Sementara
itu, studi empiris fenomena keberagaman menemukan kenyataan yang sulit
dielakkan. Yakni adanya pluralitas keyakinan dan pedoman hidup manusia.
Akibatnya, timbul hubungan tak serasi antara pendukung kedua pendekatan
tersebut dan hal ini berlangsung hingga sekarang.[13]
Namun, meskipun ada berbagai macam perbedaan di dalam ranah
transenden atau keimanan dan tak dapat disatukan, juga ketidaksamaan di dalam
aspek ritual yang juga mustahil dipersatukan, setidaknya masih ada peluang
kesamaan yang bisa disatukan, yakni kesamaan di dalam tataran nilai substantif
berupa pesan-pesan moralitas.
Maka pesan moral normatif inilah yang semestinya diidentifikasi
dari setiap agama untuk digarisbawahi kesamaan tujuannya. Secara rinci,
setidaknya ada tujuh hal pokok yang dikandung oleh semua agama[14], yakni;
1.
Adanya
realitas transenden, yakni Tuhan Yang Maha Suci, dengan nama yang berbeda-beda.
2.
Realitas
yang transenden itu adalah immanen di lubuk hati manusia, bersemayam di dalam
jiwa manusia.
3.
Realitas
transenden tersebut adalah kebaikan tertinggi, mutlak.
4.
Realitas
ketuhanan ini adalah cinta sejati yang mewujud di dalam kehidupan manusia.
5.
Jalan
manusia menuju Tuhan adalah universal, menyerahkan diri, disiplin diri dan
ritual.
6.
Semua agama
tidak saja mengajarkan tentang jalan menuju Tuhan, tetapi secara bersamaan juga
mengajarkan cara bergaul dengan lingkungan sekitarnya.
7.
Cinta
merupakan jalan yang paling tinggi menuju Tuhan.
Dengan melihat secara seksama pesan-pesan moral dari setiap agama
dalam poin B di atas, yakni tentang kewajiban manusia untuk menaati Tuhannya,
serta berbuat baik terhadap alam sekitar, apalagi sesama manusia, maka dapat
disimpulkan bahwa dasar moral dari setiap ajaran agama adalah kasih sayang,
yakni menyerap cinta dari Tuhan di alam makna untuk ditebarkan kepada
lingkungan sekitar, alam ragawi.
Kesadaran semacam inilah, yang mengarifi
kebijaksanaan-kebijaksanaan setiap agama yang semestinya dipropagandakan oleh
setiap corong keagamaan jika memang mendambakan kondisi yang damai antar
pemeluk agama. Corong yang penulis maksudkan adalah berupa sosialisasi pesan
moral keagamaan yang berkaitan dengan cinta kasih, melalui kurikulum
pendidikan, khotbah keagamaan, maupun media-media sosial lainnya. Baik secara
formal maupun informal, baik secara struktural maupun kultural.
Pesan moral utama dan penting yang dikandung dalam setiap agama
adalah keniscayaan seorang pemeluk agama untuk memperhatikan hubungannya dengan
Tuhan sekaligus dengan sesamanya. Secara teknis, hal ini tersirat di dalam Pancasraddha
umat Hindu, Pancasila umat Buddha, konsep Rahmatan Lil ‘Alamin umat
Islam, Sepuluh Perintah Tuhan umat Kristen, serta falsafah kebijaksanaan
ajaran umat Kong Hu Cu. Titik berat dari tujuannya adalah perwujudan
keharmonisan vertikal maupun horisontal.
Hal ini juga menunjukkan secara jelas bahwa agama yang sebenarnya
menguatkan keberadaan pengalaman spiritual yang unik dan bersifat individual
dari seorang pemeluk agama. Pengalaman spiritual itulah yang mendorongnya untuk
memiliki pemahaman yang mendalam secara bersama-sama antar berbagai orang dari
seluruh sistem keagamaan yang ada. Agama yang sebenarnya bertindak sebagai
‘kendaraan’ atau ‘alat’ untuk mengungkapkan rasa pelayanan (pengabdian) yang
tulus dari seluruh penganutnya. Pengabdian tersebut ditujukan kepada Tuhan,
lalu dimanifestasikan pula kepada eksistensi kosmik berupa alam semesta ini.[15]
Di akhir pembahasan ini, ide utama dari nilai-nilai moral
agama-agama di Indonesia setidaknya terrangkum di dalam ungkapan al-Bantani.
Beliau menyatakan bahwa intisari dari perintah dan larangan di dalam
kitab-kitab suci hanya dua hal saja, yakni mewujudkan keharmonisan dengan al-Khaliq
(Pencipta) dan mewujudkan keharmonisan pula dengan al-Makhluq (ciptaan,
semesta alam kosmik).[16]
SINGULARISME
Sudah saatnya bangsa ini melek terhadap
persamaan-persamaan nilai suci di dalam setiap agama, tidak hanya mengetahui
perbedaan apalagi memperruncing perbedaan tersebut yang justru bisa menimbulkan
konflik horisontal bernuansa agama. Selain itu, bagi setiap peminat pluralisme
seyogyanya memilah hal-hal yang transenden, ritual, maupun norma-norma
substantif sehingga tidak ‘keseleo’ ketika mendengung-dengungkan isu kesatuan
agama-agama maupun kebenaran yang sama antaragama.
Selain itu, citra pluralisme yang masih
dipandang negatif oleh sebagian kalangan masyarakat agaknya bisa diatasi dengan
istilah baru, yakni singularisme. Jika pluralisme menjadikan
keberbagaian serta perbedaan-perbedaan agama sebagai titik fokus kajian untuk
mewujudkan kerukunan, maka singularisme cenderung memosisikan pesan-pesan moral
utama yang seragam dan tunggal (singular) sebagai titik tolak wacana
kerukunan antarumat beragama. Sehingga obyek pembahasan tidak lagi berputar di
lingkungan transenden teologis, tetapi ke tataran akhlak, moral normatif.
Dan alangkah baiknya jika
kurikulum-kurikulum di sekolah-sekolah kita, baik itu dalam pendidikan formal
maupun nonformal, memberikan ruang khusus bagi tema pesan moral keagamaan untuk
disosialisasikan kepada generasi penerus bangsa. Dalam hal ini, wawasan tentang
konflik-konflik bernuansa agama harus dicermati dan diterangkan sebagai imbas
dari persinggungan sosial budaya, bukan murni karena nilai-nilai agama yang
menganjurkan pertumpahan darah, baik itu konflik berskala nasional maupun
internasional, baik yang klasik maupun kontemporer.
![]() |
Lukisan Nida Ul Umaim, adik penulis, sebagai juara satu dalam FLSN (Festival Lomba Seni Nasional) Lombok 2012 yang menunjukkan kebhinnekaan agama dan budaya di Nusantara |
Zia Ul Haq
Yogyakarta, 12-12-12
[1] Mircea Eliade, The Sacred and The Profane, (1961), hal.204
[2] Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara, (Yogyakarta:
LKiS, 2011), hal.71-74.
[3] Hamdan Basyar (Ed.), Konflik
Poso: Pemetaan dan Pencarian Pola-pola Alternatif Penyelesaiannya, (Jakarta : P2P LIPI, 2003),
hal.45-55
[4] Frans Magnis Suseno, “Faktor-faktor Yang Mendasari Terjadinya Konflik
Antara Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia” dalam Konflik Komunal di
Indonesia Saat Ini, (Jakarta: INIS, 2003), hal.123
[5] Abdurrahman Wahid, Op.cit., hal.74
[6] Victor I. Tanja, “Etnisitas dan Religiositas” dalam Atas Nama
Agama, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hal.76
[9] Ibid., hal.107-115.
[10] Ibid., hal. 79-104
[11] Ibid., hal.111-135
[12] Abdurrahman Wahid, “Yang Sama dan Yang Benar” dalam Tuhan Tidak
Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKiS, 2011), hal.82.
[13] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hal. 44.
[14] Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1990), hal.42
[15] Amin Abdullah, op cit., hal.169
[16] Muhammad Nawawi al-Bantani, Nashaihul ‘Ibad, (Surabaya: Ihya
Kutubil ‘Arabiyyah, tt.), hal.25
No comments: