Sang Kelana dan Fatihahnya
“All of us have our own way in this long spiritual journey..”
Ini kisah nyata tentang salah seorang penghuni kampung kami
di kaki Gunung Slamet ini.
Sebut saja namanya Polan. Ia mengaji Al-Quran kepada seorang
ustadz tiap senja, sambil mencarikan rumput pakan kelinci ustadznya itu untuk
mendapatkan sekeping dua keping rupiah. Kadang, ia dipersilakan bersantap
bersama keluarga sang guru sambil mengobrol kesana-kemari.
Polan mengaji Al-Fatihah berbulan-bulan. Ya, memang, mengaji
Al-Quran kepada beliau dan kepada guru-guru ngaji terdahulu memang tidak mudah.
Jika belum benar-benar tepat makhroj dan tata baca di surat Al-Fatihah, jangan
harap bisa melanjutkan ke Al-Baqarah. Dahulu akupun musti tahan bentak selama
satu bulan di hadapan beliau.
Entah karena faktor apa, Polan tak kunjung tuntas mengaji
Al-Fatihah, hingga ia pun hampir frustasi,
“Yaa Allaaah, kapan aku benar-benar bisa Fatehah.. Yaa
Allaah..” keluhnya.
Setelah hampir tiga bulan berlipat kening, memonyong dan
memeringiskan bibir demi bacaan Al-Fatihah yang ‘sempurna’, akhirnya sang guru
mengijinkan Polan melangkah ke Al-Baqarah. Betapa senangnya hati Polan.
Itu
artinya, ia berhak melanjutkan mengaji ke surat-surat selanjutnya, dari
Al-Baqarah, lalu Ali Imran, dan seterusnya hingga An-Nas di penghujung
Al-Quran.
~
Beberapa tahun kemudian, yakni beberapa hari lalu, sang
ustadz dan istrinya berkesempatan berkunjung ke rumah Polan. Karena kabarnya, Polan
sudah pulang setelah bertahun-tahun mengembara entah kemana. Tak hanya desa-desa
dan kota-kota yang sudah dijelajahinya, bahkan gunung-gunung dan hutan-hutan
pun ia akrabi. Ia pulang dalam rangka pernikahan salah seorang kakaknya.
Rumahnya sudah nampak beda, sudah jauh lebih megah bila
dibandingkan dengan kondisinya dahulu semasa ia kecil. Dan di ruang tamu sudah
banyak tetangga dan kerabat ramai berkerumun, namun tidak nampak Polan. Sejak
kepulangannya, Polan lebih banyak menyendiri di kamar. Hanya bila ada
kepentingan saja ia keluar, termasuk saat ini.
Mendengar kedatangan gurunya, Polan bergegas keluar dan
segera menemui kedua tamunya itu.
Ustadz dan istrinya terkesima memandang wajah Polan.
Gondrong rambutnya dengan wajah yang berkumis dan brewok hitam pekat membuat Polan
tampak lebih tua dari usianya. Dan tak bisa dipungkiri, ada cahaya yang
memancar dari wajah pemuda ini, cahaya wibawa yang membuat bergetar hati orang
yang memandangnya. Bahkan bisa membuat tubuh gemetar sebab segan dan haibahnya.
Kerumunan orang yang tadi riuh rendah penuh gelak tawa kini terdiam, hening,
tak bersuara.
Hingga akhirnya Polan memulai perbincangan sederhana dengan
kedua tamu istimewanya itu.
Kenangan demi kenangan, kisah demi kisah, mewarnai
cengkerama mereka sore itu. Namun, seseru apapun kelana Polan di luar sana,
sedalam bagaimanapun samudera batin yang telah ia selami, ia tetap tidak
sesumbar di hadapan gurunya. Ia tetap bersikap dan berucap sederhana, layaknya
orang desa pada umumnya. Justru kedewasaan dan kerendahan hati yang sudah
begitu matang tergambar jelas dari tutur kata serta tindak tanduknya.
Tetapi, lagi-lagi tak bisa dipungkiri, ada wangi ketenangan
dan kedalaman makna dalam setiap bulir kalimat yang terlontar dari mulutnya.
Jelas dia bukan Polan yang dahulu, dia seperti ulat yang mematangkan diri dalam
kepompong kembara lalu kembali berupa kupu-kupu indah dengan sayap-sayap
mempesona.
Setelah puas bernostalgia, sang ustadz undur diri karena
senja sudah makin menua. Namun sebelum beranjak pulang, beliau sempat
menanyakan satu hal yang dari tadi mengusik pikirannya.
“Setelah semua yang Gusti Allah karuniakan kepadamu,
bolehkah aku tahu apa wirid yang kau dawamkan selama ini?” tanya sang guru.
“Hanya Fatehah, Ustadz. Semenjak saya benar-benar bisa
Fatehah dahulu, saya selalu menyibukkan diri dengan Fatehah itu, dan itulah
yang saya wiridkan sepanjang waktu, Ustadz. Sehingga bacaan mulia itu
betul-betul memenuhi dadaku.” jawab Polan sambil berkali-kali mengungkapkan
terima kasih kepada guru ngajinya semasa kecil dahulu itu.
~
Ada satu hal yang Polan sampaikan dan menarik perhatianku,
karena senada dengan apa yang pernah aku dengar dari sosok-sosok pelaku
perjalanan batin lain dalam kesempatan yang berbeda. Entah berdasarkan
pengalaman empiris ataukah intuitifnya, ia berkata;
“Alhamdulillah, sebuah karamah yang besar dari Allah, bahwa
di daerah Tegal ini masih banyak orang soleh walau tersembunyi. Meskipun ada
yang maksiat, itu tak seberapa dan hanyalah sementara. Masih lebih banyak
mereka yang tekun beribadah dan rukun bermuamalah. Alhamdulillah.”
Wallahu A’lam
“Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah
yang dapat mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah; 269)
![]() |
salah satu ruas jalan Desa Tuwel menuju Gunung Slamet |
Tuwel, Jum’at/15/02/2012
mantap kang,,, pripun kabare kang zia ??
ReplyDelete